Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Nasional

Regenerasi Nelayan: Pendidikan Adalah Kunci Menjaga Laut

4906
×

Regenerasi Nelayan: Pendidikan Adalah Kunci Menjaga Laut

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Regenerasi Nelayan: Pendidikan Adalah Kunci Menjaga Laut

 

Example 300x600

Jakarta, Milleniumpost.id

 

Peringatan Hari Maritim Nasional yang jatuh setiap tahun selalu menghadirkan perdebatan tentang tanggal yang dianggap paling tepat untuk dijadikan acuan. Sebagian kalangan menilai 21 Agustus 1945, ketika rakyat pesisir bergerak merebut kapal-kapal Jepang pasca proklamasi, adalah momentum yang layak dikenang. Sementara pihak lain berpegang pada 23 September 1963, saat Presiden Soekarno menetapkan tanggal itu secara resmi melalui Keputusan Presiden.

Perdebatan ini kerap muncul ke permukaan, namun menurut DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, pengamat maritim dari IKAL Strategic Center (ISC), keduanya tidak perlu dipertentangkan. Justru, kata dia, kedua momentum itu bisa saling melengkapi dalam membangun kesadaran maritim bangsa. “21 Agustus memberi teladan tentang keberanian rakyat, sementara 23 September memberi kerangka kebijakan negara. Jika keduanya digabungkan, maka lahirlah narasi besar, bahwa negara hadir untuk melanjutkan perjuangan rakyat pesisir,” ujar DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, di Jakarta, Rabu (21/8/2025).

Lebih lanjut, Capt. Hakeng menekankan bahwa nelayan pada masa awal republik telah menunjukkan pengorbanan luar biasa. Mereka mempertaruhkan nyawa, merebut kapal, menjaga pelabuhan, dan menguasai laut ketika negara belum memiliki pertahanan resmi. Kini, menurutnya, giliran republik yang harus mengorbankan kebijakannya demi nelayan. “Dulu mereka berdiri di garda depan, maka sekarang mereka seharusnya menjadi pihak yang paling merasakan manfaat dari pembangunan maritim,” tegasnya.

Namun, kenyataan menunjukkan hal sebaliknya. Nelayan hari ini justru sering menjadi kelompok paling rentan. Harga solar yang fluktuatif, ketergantungan pada tengkulak, serta minimnya akses teknologi membuat kehidupan mereka kian berat. Situasi ini semakin sulit dengan dampak perubahan iklim yang membuat pola tangkapan ikan tak menentu. Sementara itu, kapal-kapal besar, baik milik nasional maupun asing, justru lebih leluasa mengambil keuntungan dari laut Indonesia. Ironi inilah yang menurut Capt. Hakeng mencerminkan paradoks besar, di mana mereka yang hidup paling dekat dengan laut justru berada paling jauh dari kesejahteraan.

Ia menilai Hari Maritim tidak boleh berhenti pada seremoni atau sekadar mengenang heroisme masa lalu. Momentum ini harus menjadi cermin reflektif bagi kebijakan masa kini. Pemerintah, kata dia, tidak cukup hanya membangun tol laut, pelabuhan besar, atau memperkuat armada pertahanan. Lebih penting adalah menghadirkan kebijakan yang menyentuh kehidupan sehari-hari nelayan kecil. Subsidi bahan bakar yang tepat sasaran, akses kredit yang adil, penguatan koperasi nelayan, hingga jaminan harga ikan yang stabil perlu diwujudkan sebagai langkah konkret.

Tanpa itu semua, jargon “Poros Maritim Dunia” hanya akan menjadi retorika tanpa substansi. Capt. Hakeng juga mengingatkan bahwa laut memiliki makna filosofis yang lebih dalam, bukan hanya soal peta dan kapal. Laut adalah simbol kehidupan dan keterhubungan, sementara nelayan adalah penjaga pertama simbol itu. “Jika mereka terpinggirkan, maka ruh kemaritiman bangsa ikut meredup,” ujarnya.

Menurut Capt. Hakeng, kesejahteraan nelayan harus menjadi fondasi utama pembangunan maritim. Sebab maritim tidak semata urusan geopolitik atau ekonomi, tetapi urusan manusia yang menggantungkan hidup pada gelombang dan hasil laut. Karena itu, Hari Maritim bukan hanya soal simbol nasionalisme, melainkan juga panggilan moral untuk menghadirkan keadilan bagi mereka yang berada di garis depan. “Kedaulatan tidak berhenti di batas terluar, tetapi juga hadir di wajah nelayan yang berjuang di tengah ombak demi sesuap nasi,” katanya.

Ia mengingatkan pula bahwa pembangunan maritim harus berpijak pada wawasan lingkungan. Jika laut rusak, nelayan akan kehilangan sumber penghidupan, dan bangsa akan kehilangan penjaga pertamanya. Dengan demikian, perlindungan ekologi laut harus menjadi bagian integral dari perlindungan sosial.

DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, juga menyinggung keterkaitan erat antara kesejahteraan nelayan dan pendidikan. Ia menilai bahwa tanpa regenerasi, profesi nelayan di Indonesia terancam punah. Banyak anak-anak nelayan yang terpaksa berhenti sekolah untuk membantu orang tua mereka melaut sejak usia dini. Situasi ini menciptakan lingkaran kemiskinan yang sulit diputus. Tanpa pendidikan yang memadai, generasi muda nelayan tidak memiliki kesempatan untuk menguasai keterampilan baru yang dibutuhkan di era modern. Pada titik inilah, kata Hakeng, bangsa menghadapi persoalan strategis. “Kalau nelayan habis, siapa yang akan menjaga laut kita? Siapa yang akan memastikan perut bangsa tetap terisi dari hasil tangkapan sendiri?” ujarnya penuh penekanan.

Karena itu, ia mendorong agar negara menghadirkan kebijakan pendidikan yang berpihak pada anak-anak pesisir. Program beasiswa, sekolah vokasi berbasis kelautan, hingga pelatihan teknologi maritim modern harus disiapkan untuk memastikan profesi nelayan tetap lestari. Menurutnya, pendidikan adalah jalan utama bagi regenerasi. Dengan pendidikan, generasi muda pesisir tidak hanya mampu bertahan di tengah kerasnya gelombang, tetapi juga bisa berinovasi, mengembangkan cara tangkap ramah lingkungan, dan memanfaatkan teknologi baru.

Dengan begitu, profesi nelayan tidak lagi dipandang sebagai pekerjaan berat yang melelahkan, melainkan sebagai sumber kebanggaan dan masa depan yang menjanjikan. “Kalau generasi muda pesisir berdaya, maka masa depan maritim Indonesia tetap terjaga,” Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa. Ditambahkan olehnya bahwa di sisi lain, pembangunan infrastruktur maritim juga harus diarahkan agar memberi manfaat nyata bagi masyarakat pesisir.

Capt. Hakeng menilai pelabuhan perikanan tidak boleh berhenti menjadi titik bongkar muat, melainkan harus dilengkapi dengan fasilitas cold storage, pasar ikan higienis, dan jalur distribusi yang efisien agar nelayan tidak terjebak dalam permainan harga. Infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, dan internet juga harus dipercepat di kawasan pesisir agar masyarakat nelayan tidak terus terisolasi. Menurutnya, tanpa pembangunan berbasis kebutuhan masyarakat, jargon poros maritim akan sulit membumi.

Ia menutup dengan penegasan bahwa Poros Maritim Dunia tidak akan pernah tercapai bila nelayannya tetap miskin, masyarakat pesisirnya tetap terpinggirkan, dan lautnya terus dirusak. Peringatan Hari Maritim, kata Capt. Hakeng, harus menjadi momentum kebangkitan kesadaran nasional bahwa kedaulatan maritim bukan hanya urusan geopolitik atau pertahanan, melainkan juga kesejahteraan dan keberlanjutan hidup masyarakat pesisir. “Indonesia hanya akan benar-benar menjadi Poros Maritim Dunia apabila nelayannya sejahtera, masyarakat pesisirnya terlindungi, dan lautnya dijaga bersama,” pungkas Capt. Hakeng. (*)

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *