Beban Ganda Cukai Tak Naik dan Rokok Murah: Perokok dan Penyakit Meningkat Serta Pemasukan Negara Tak Maksimal
Jakarta, 7 Oktober 2025 –
Hari ini Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG-UI) merilis studi yang menguak kelemahan strategis upaya pemerintah untuk pengendalian rokok di Indonesia. Studi berjudul Strategi Pengendalian Prevalensi Perokok: Tantangan Downtrading dan Alternatif Produk dengan tegas mengidentifikasi dampak dari fenomena perpindahan perokok dari merek mahal ke merek yang lebih murah (downtrading) akibat tidak ada kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan simplifikasi. Fenomena downtrading ternyata terbukti menghambat pengendalian prevalensi perokok, menghambat optimalisasi penerimaan negara, dan memerlukan upaya reformasi fiskal pada instrumen Cukai Hasil Tembakau dengan segera oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Prevalensi perokok anak di Indonesia dalam kondisi mengkhawatirkan yaitu sebesar 7,4% atau sebanyak 5,9 juta perokok anak (SKI, 2023). Ditambah lagi jumlah perokok usia 15 tahun ke atas yang masih stagnan di kisaran 30% (SKI, 2023). Di sisi lain, harga rokok di Indonesia tergolong murah di Kawasan Asia Pasifik (Numbeo, 2025). Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada 2025 dan struktur tarif CHT yang masih kompleks yaitu sebanyak 8 golongan. Analisis ilmiah telah membuktikan bahwa struktur cukai yang kompleks menciptakan siklus ketergantungan yang mempertahankan konsumsi pada berbagai produk nikotin (Cho et al, 2024).
Penemuan kunci studi yang dipaparkan oleh Aryana Satrya, selaku Ketua PKJS-UI, menunjukkan bahwa adanya ketersediaan rokok dengan harga yang sangat terjangkau dapat terlibat secara langsung dalam menggagalkan niat perokok untuk berhenti merokok. Lebih dari sepertiga perokok aktif dalam studi ini teridentifikasi sebagai downtrader (perilaku konsumen yang mencari alternatif produk rokok yang lebih terjangkau agar tetap bisa merokok) angka mencapai 35,73%. Angka capaian ini didominasi oleh kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah dan pekerja sektor informal, seperti buruh harian lepas dan pekerja dengan penghasilan di bawah Upah Minimum Regional (UMR).
Melalui model ekonometrika (Generalized Ordinal Logit), studi ini menunjukkan fakta yang mengejutkan. “Downtrader perokok memiliki peluang sebesar 5,75 kali lebih besar untuk melanjutkan kebiasaan merokoknya dibandingkan dengan perokok yang memilih berhenti, dengan kata lain sebesar 5,75 kali lebih sulit berhenti merokok”, tegas Risky Kusuma Hartono, peneliti utama dari PKJS-UI. “Struktur cukai yang longgar ibarat menyediakan ‘tangga darurat’ bagi perokok, setiap kali harga naik, mereka tidak melompat keluar dari kebiasaan merokok melainkan turun ke anak tangga yang lebih murah. Hal ini adalah kegagalan kebijakan fiskal yang harus segera direformasi” tegas Risky.
Analisis lanjut studi yang menanyakan perilaku pembelian rokok pada 2024 dan 2025 ini menunjukkan bahwa, rerata harga rokok konvensional per Bungkus yang dibeli konsumen menunjukkan penurunan dari Rp 18.673,99,- (2024) menjadi Rp 17.295,73,- (2025). Penurunan ini dapat disebabkan karena tarif CHT yang tidak naik dan diperbolehkannya pembelian secara diskon. Ini dikonfirmasi oleh studi ini yang menyebutkan bahwa masih ada konsumen yang mendapatkan diskon dalam pembelian rokok sebanyak 44,84% (2024) dan 33,15% (2025). Pembelian rokok batangan yang masih sangat marak khususnya di kalangan usia remaja pun menjadi tantangan karena berpeluang 3,36 kali lebih tinggi untuk tetap merokok dibandingkan memilih berhenti. Begitu juga dengan penggunaan rokok elektronik (vape). Produk tembakau alternatif lain ini terbukti secara signifikan meningkatkan peluang sebesar 12,05 kali lebih tinggi untuk tetap merokok dibandingkan berhenti. Keseluruhan tantangan tersebut menambah kompleks sulitnya mengatasi permasalahan fenomena downtrading di Indonesia.
Tim riset PKJS UI mengungkap bahwa downtrading dapat menyebabkan dampak negatif lainnya seperti penerimaan cukai tidak optimal, menghambat prinsip cukai dalam menurunkan prevalensi perokok, mendorong persaingan industri yang tidak sehat, dan pada akhirnya dapat meningkatkan beban kesehatan jangka panjang. Hasil riset ini memperkirakan bahwa perilaku downtrading berpotensi menurunkan penerimaan negara dari sisi CHT mencapai angka Rp 24,413 triliun.
Hasil studi ini ditanggapi pertama oleh Bapak Arie Kusuma selaku Kepala Seksi Tarif Cukai & Harga Dasar I, DJBC, yang menyatakan bahwa pelaku downtrading memang benar sensitif dengan harga sehingga memilih rokok yang lebih murah. Selama ini Pemerintah melakukan pemantauan harga transaksi pasar dari sisi produsen dan data studi ini melengkapi data pemantauan harga dari sisi konsumen, sehingga memperkaya bukti untuk kami.
Temuan dari sisi perdagangan harga rokok murah dan pembelian rokok batangan studi ini ditanggapi oleh Bapak Ronald Jenri Silalahi, M.E selaku Direktur Pengawasan Barang dan Jasa, Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga. Beliau mengungkapkan bahwa rokok batangan menjadi tantangan utama dalam mengurangi prevalensi perokok di Indonesia. “Kami selaku Kementerian Perdagangan sebenarnya sudah menyampaikan surat dukungan kepada Kemenkes terkait pengawasan penjualan rokok batangan dan beberapa pasal dalam PP 28/2024. Riset PKJS-UI menjadi tambahan informasi yang berharga bagi kami dalam rangka melakukan pengawasan secara bersama-sama dan juga sesuai fungsi kita masing-masing.”
Sementera itu, Bapak Sarno, selaku Pejabat Direktorat Strategi Perpajakan, Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal, Kementerian Keuangan RI, menyoroti bahwa memang benar downtrading berpotensi mengurangi penerimaan negara. Beliau menambahkan bahwa simplifikasi struktur tarif CHT perlu dilakukan secara bertahap dan terukur.
“Kami berupaya mendekatkan gap antar tarif dan harga jual eceran (HJE) di setiap segmen sebelum nantinya melakukan penggabungan atau pengurangan layer. Kalau sudah ada arahan dari Pak Purbaya untuk mengurangi jumlah layer, kami siap menindaklanjutinya. Namun tentu proses ini harus hati-hati agar tidak menimbulkan polemik atau resistensi. Prinsipnya, kami ingin struktur tarif yang lebih sederhana dan tidak terlalu kompleks,” ujarnya.
Dari sisi kesehatan masyarakat, dr. Benget Saragih, M.Epid, selaku Penanggung Jawab Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau, Direktorat P2PTM Kementerian Kesehatan RI, tertarik pada penemuan penelitian yang mengungkapkan bahwa fenomena downtrading banyak ditemukan di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah dan usia muda di bawah 21 tahun. “Sebagian besar dari mereka membeli rokok eceran per batang menggunakan uang pribadi karena harga rokok masih terjangkau akibat sistem cukai yang bertingkat. Artinya murahnya ini difasilitasi oleh negara. Dalam pembahasan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024, kami telah mengusulkan agar satu kemasan rokok berisi 20 batang untuk membatasi akses terhadap rokok murah, tapi itu ditolak,” ungkapnya.
Sebagai penutup, Ibu Dr. Hj. Anis Byarwati, selaku Anggota Komisi XI DPR-RI, menekankan bahwa kajian ini menjadi bahan masukan penting bagi pengambil kebijakan di DPR, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, dan lembaga terkait. “Tujuan utama cukai bukan untuk penerimaan, tetapi untuk mengendalikan konsumsi agar masyarakat, terutama anak dan remaja, tidak merokok. Salah satu langkah efektif adalah dengan menaikkan cukai. Saya mendukung penuh penelitian ini sebagai bahan pertimbangan kebijakan yang berpihak pada kesehatan, namun pemerintah juga perlu kreatif mencari sumber penerimaan lain, bukan terus bergantung pada rokok yang merusak kesehatan. Kesehatan harus selalu menjadi prioritas utama,” tegasnya.
Berbagai ulasan para penanggap riset ini mendorong Kementerian Keuangan untuk melakukan reformasi fiskal pada instrumen Cukai Hasil Tembakau segera. Apabila tidak menaikkan cukai rokok pada 2026 berisiko menimbulkan sejumlah dampak negatif. Dampak tersebut mencakup stagnasi harga rokok yang tetap terjangkau, semakin maraknya praktik downtrading, terhambatnya upaya pengendalian prevalensi perokok, dan penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) yang tidak optimal dalam jangka panjang.
Studi ini merekomendasikan kebijakan strategis khususnya reformasi sistem CHT di Indonesia untuk meningkatkan efektivitas pengendalian konsumsi rokok sekaligus mengoptimalkan penerimaan negara. Beberapa rekomendasi kebijakan tersebut, yaitu:
a. Presiden perlu mengarahkan Kementerian Keuangan segera menaikkan dan melakukan simplifikasi tarif CHT sebagai bagian dari implementasi reformasi kebijakan CHT agar efektif menurunkan jumlah perokok, terutama kelompok miskin, rentan, dan anak-anak.
b. Komisi XI DPR RI mendorong kenaikan cukai rokok dan penyederhanaan struktur CHT.
c. Dewan Ekonomi Nasional (DEN) memperkuat rekomendasi kebijakan CHT.
d. Kementerian Keuangan mempercepat penghapusan golongan 2 dan 3 sehingga hanya tersisa 3 struktur tarif CHT (SKM, SPM, SKT), serta menaikkan tarif CHT minimal 25% setiap tahun.
e. Kementerian Perdagangan menegakkan larangan penjualan rokok batangan sesuai PP No. 28/2024.
f. Kementerian Kesehatan harus memastikan implementasi program Upaya berhenti Merokok (UBM) dengan prioritas bagi kelompok pra-sejahtera, anak-anak, dan kaum muda.
***
Tentang PKJS-UI
Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) merupakan salah satu pusat penelitian yang berada di bawah Center for Strategic and Global Studies, Sekolah Kajian Strategis dan Global Universitas Indonesia. Pendirian PKJS-UI diprakarsai oleh para ahli perlindungan sosial di Indonesia pada tanggal 14 September 2015. PKJS-UI sebagai Pusat Kajian dari Universitas yang berfokus isu program perlindungan sosial. Visinya adalah menjadi pusat penelitian terbaik di Asia, dalam bidang penelitian, konsultasi, dan pelatihan tentang perlindungan sosial, serta berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat di Asia. Misi kami adalah memperkuat asuransi kesehatan, jaminan ketenagakerjaan, dan berbagai program kesejahteraan sosial lainnya melalui penelitian, konsultasi, dan pelatihan. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi http://pkjsui.org/.